Pemogokan Kerja Karyawan PT. Freeport

PT Freeport Indonesia adalah anak perusahaan dari Freeport-McMoRan, perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat. Sejak tahun 1967, perusahaan ini telah beroperasi di provinsi Papua, Indonesia, dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara serta menciptakan lapangan pekerjaan bagi penduduk lokal Dalam sejarahnya, PT Freeport telah menghadapi tudingan serius terkait distorsi etika bisnis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di wilayah Papua. Terdapat pernyataan kuat bahwa martabat manusia yang seharusnya dijunjung tinggi, peradaban, dan kebudayaan di Papua telah dilanggar secara serius.

Dibalik pencapaian gemilang PT Freeport, terdapat sejarah konflik yang panjang dan rumit antara PT Freeport Indonesia dan karyawannya. Konflik tersebut memuncak saat karyawan PT Freeport Indonesia melakukan pemogokan kerja. Pekerja di perusahaan ini, khususnya yang tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), merasa bahwa hak-hak mereka, terutama terkait gaji, telah diabaikan. Sehingga mereka melakukan pemogokan kerja untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka. Salah satu masalah utama yang memicu pemogokan kerja pada PT Freeport Indonesia adalah ketidak setaraan dalam indeks standar gaji yang diterapkan oleh manajemen PT Freeport di seluruh dunia. Pekerja PT Freeport di Indonesia diketahui mendapatkan gaji yang lebih rendah dibandingkan dengan rekan-rekan mereka di negara lain untuk jabatan yang setara. Dalam beberapa kasus, gaji pekerja di Indonesia hanya sekitar USD 1,5 hingga USD 3 per jam, sementara pekerja di negara lain dengan jabatan serupa mendapatkan USD 15 hingga USD 35 per jam. Sejauh ini, perundingan antara manajemen Freeport dan pekerja belum menghasilkan kesepakatan yang memuaskan karena manajemen PT Freeport bersikeras menolak tuntutan pekerja meskipun alasannya tidak dijelaskan secara rinci.

Pemogokan kerja telah memberikan dampak besar pada para karyawan PT Freeport Indonesia Beberapa dampak utamanya adalah:

1. Susahnya Bertahan Hidup: Para peserta mogok kerja mencari berbagai cara untuk bertahan dan mencari penghidupan selama mogok. Mereka terlibat dalam pekerjaan sementara seperti proyek infrastruktur, tukang ojek, berdagang kecil-kecilan, dan pekerjaan informal lainnya. Banyak dari mereka kini bekerja di pangkalan ojek di Timika. 2. Penonaktifan Kepesertaan BPJS Kesehatan: Setelah dianggap mangkir, perusahaan telah menonaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatan para peserta mogok. Hal ini mengakibatkan beberapa kasus depresi dan bahkan kematian pekerja mogok, seperti kasus Aser Koyamee Gobay. 3. Dampak terhadap Pemenuhan Hak atas Perumahan: Sebelum pemogokan, banyak pekerja Freeport belum memiliki rumah sendiri dan harus menyewa rumah kontrakan atau kos. Biaya sewa kontrakan yang tinggi di Timika membuat beberapa pekerja kesulitan membayar sewa, yang menyebabkan pengusiran atau pindah ke kontrakan yang lebih terjangkau. 4. Dampak terhadap Pemenuhan Hak atas Pendidikan: Penghentian pembayaran gaji danhak-hak normatif lainnya juga berdampak negatif pada pendidikan keluarga pekerja. Banyak kasus melibatkan siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena tunggakan iuran dan seragam sekolah, kesulitan melanjutkan pendidikan, atau ancaman pengusiran dari sekolah dan universitas.

Dalam menyelesaikan permasalahan pemogokan kerja karyawan tadi, PT Freeport Indonesia telah mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat pemogokan karyawan.

1. Komunikasi dengan SPSI: Manajemen perusahaan akan berkomunikasi dengan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) untuk mencegah mogok kerja lebih lanjut. 2. Penanganan Intimidasi Fisik: PT Freeport Indonesia mengklaim bahwa mereka akan memproses intimidasi fisik sesuai dengan Pedoman Hubungan Industrial (PHI). Ini termasuk kasus tindakan intimidasi fisik yang dilakukan oleh beberapa karyawan. 3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB): Dalam PKB antara manajemen perusahaan dan SPSI, terdapat kenaikan upah pokok sebesar 40% dalam dua tahun. Angka ini di atas rata-rata kenaikan upah pokok nasional yang biasanya itu sekitar 10 hingga 11 persen per tahun. 4. Crisis Management Committee: Untuk menciptakan lingkungan kerja yang damai dan harmonis, PT Freeport Indonesia dan pimpinan SPSI PTFI telah membentuk Crisis Management Committee.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PT Freeport Indonesia telah menghadapi serangkaian masalah etika bisnis dan pelanggaran hak pekerja yang mengakibatkan pemogokan karyawan. Pekerja merasa bahwa gaji mereka tidak sebanding dengan pekerja di negara lain yang memiliki jabatan serupa. Masalah ini menciptakan ketidakpuasan yang berujung pada pemogokan. Manajemen perusahaan telah berusaha untuk menyelesaikan masalah ini melalui komunikasi dengan serikat pekerja, peningkatan upah, dan pembentukan

Penulis

Farelia Malika Dewi, Jihan Kirana Frizsy, Salma Febridani

Sumber :

0 Komentar

Berikan pendapat anda kepada kami

You May Also Like