Indonesia Lestarikan Populasi Hiu dengan Kembangkan Teknologi Berbasis DNA
Jakarta – Meskipun dijuluki sebagai Pulau Maritim, Indonesia tengah mengalami penurunan populasi spesies air laut, khususnya hiu. Populasinya yang kian menurun diakibatkan penangkapan hasil laut ilegal dan eksploitasi laut besar-besaran. Terkait hal ini, para ilmuwan mengembangkan teknologi berbasis DNA untuk lestarikan ikan hiu di Indonesia.
Jutaan organisme berkontribusi terhadap keanekaragaman hayati laut global, dan sebagian besar dari mereka memerlukan perlindungan. Sayangnya, planet ini telah kehilangan sekitar 70% keanekaragaman hewan dalam lima dekade terakhir.
Indonesia, yang terkenal dengan keanekaragaman hayati lautnya, berada di ujung tanduk. Pasalnya para peneliti telah menemukan bahwa populasi hiu dan pari manta di Tanah Air berkurang hingga tingkat yang mengkhawatirkan. Ikan hiu dan pari merupakan ikan bertulang rawan yang banyak diburu karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Penangkapan dan perdagangan secara berlebihan menyebabkan spesies ini terancam kepunahan dan sudah masuk beberapa ketegori Red List.
Sebagai hasil laut yang diincar banyak nelayan, dulu hiu dan pari dianggap sebagai predator di puncak rantai makanan dan enggan untuk ditangkap. Kelompok Elasmobranchii ini telah menjadi penghuni laut yang harus susah payah untuk bertahan hidup. Karakteristik biologis hiu dan pari juga menempatkan mereka pada posisi yang sangat dirugikan. Hewan laut ini tumbuh relatif lambat dengan tingkat produktivitas rendah. Sebagai bentuk dari krisis global, Indonesia terkena dampak yang lebih besar dibandingkan kebanyakan negara lain di dunia.
Dilansir dari earth.com, Indonesia merupakan rumah bagi lebih dari 220 spesies hiu dan pari, yakni sekitar seperlima dari populasi global. Mempunyai keanekaragaman hiu dan pari yang kaya memberikan beberapa manfaat di bidang ekonomi dan pariwisata.
Setidaknya, sebesar Rp345 miliar (USD 22 juta) per tahun masuk ke kas negara berkat adanya wisata bahari yang menampilkan hiu dan pari. Meskipun memiliki nilai ekonomi, hanya enam spesies yang dilindungi dari segala bentuk penangkapan dan perdagangan di Nusantara. Beberapa spesies hiu dan pari yang dilindungi di Indonesia adalah hiu paus (Rhincodon typus), pari manta raksasa (Mobula birostris), pari manta karang (Mobula alfredi), dan tiga spesies ikan hiu gergaji. Negara ini juga tidak mengizinkan ekspor empat spesies yang terancam punah secara global, yakni tiga spesies hiu martil dan satu hiu sirip putih samudera (Carcharhinus longimanus).
Selama tahun 2007-2017, enumerator kelautan Indonesia mencatat rata-rata tangkapan hiu dan pari tahunan sebesar 110.737 metrik ton. Menariknya, sebagian besar tangkapan ini berasal dari ketidak sengajaan.
Hal ini sejalan dengan pengamatan Wildlife Conservation Society pada tahun 2018 yang menyatakan bahwa hingga 86% nelayan di Indonesia secara tidak sengaja menangkap hiu dan pari. Untuk itu, negara melakukan upaya terbaik dalam melestarikan hiu dan pari.
Situasi ini membuat Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit antara konservasi dan manfaat sosio-ekonomi dari penangkapan ikan hiu. Menurut sebuah penelitian yang baru diterbitkan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terkini mungkin menawarkan solusi bagi Indonesia. Alat diagnostik baru berbasis DNA, seperti metode FASTFISH-ID, telah memajukan proses identifikasi satwa liar.
FASTFISH-ID adalah teknik reaksi berantai polimerase (PCR) real-time canggih yang mendukung identifikasi spesies secara cepat dan andal. Teknologi ini menggunakan probe fluoresen untuk membuat tanda genetik unik setiap spesies, sehingga menawarkan identifikasi yang tepat.
Awalnya dirancang untuk ikan bertulang, FASTFISH-ID bisa juga diterapkan pada Elasmobranchii. Para peneliti menggunakannya pada 28 spesies pari dan hiu yang sering diperdagangkan dan ditemukan di bawah permukaan perairan Indonesia. Hal ini memungkinkan identifikasi spesies yang akurat hingga 79,41%, meskipun dengan sedikit kesalahan klasifikasi.
Berdasarkan temuan kami, para ahli percaya FASTFISH-ID dapat menjadi terobosan yang menawarkan kecepatan, portabilitas, universalitas, dan resolusi nukleotida tunggal ketika mengidentifikasi spesies elasmobranchii, jelas Ketua Penelitian Andhika P. Prasetyo di Universitas Salford. Meskipun terdapat keterbatasan seperti kesalahan penugasan dan inkonsistensi dalam hibridisasi, para ilmuwan berharap perbaikannya segera selesai. Dengan pengembangan yang tepat, kesalahan seperti ini dipastikan bisa dihilangkan, sehingga membuat kinerja teknologi lebih optimal.
“Dengan penyempurnaan lebih lanjut, metode ini dapat meningkatkan pemantauan perdagangan elasmobranchii di seluruh dunia, termasuk Indonesia,” tutur Andhika. “Tentunya, ini tanpa memerlukan laboratorium atau pengujian spesifik spesies.
Sumber :
https://jfmr.ub.ac.id/index.php/jfmr/article/view/378 https://newsvibes.biz.id/indonesia-turns-to-dna-technology-to-save-their-sharks-earth-com/ https://www.earth.com/news/dna-based-technology-could-save-indonesian-sharks/ https://www.google.com/search?q=usd+to+idr&oq=usd&gs_lcrp=EgZjaHJvbWUqDQgCEAAYgwEYsQMYgAQyBggAEEUYOTINCAEQLhiDARixAxiABDINCAIQABiDARixAxiABDINCAMQABiDARixAxiABDINCAQQABiDARixAxiABDINCAUQABiDARixAxiABDINCAYQABiDARixAxiABDIGCAcQRRg80gEIMjU4OGowajmoAgCwAgA&sourceid=chrome&ie=UTF-8
0 Komentar